Korupsi, Investasi Politik, dan Permainan Gula: Rakyat yang Dipaksa Membayar Harga Kebusukan

Penulis
23 March 2025

Di Indonesia, korupsi bukan sekadar kejahatan, melainkan bagian dari mekanisme politik yang telah lama terbangun. Bukan hanya di sektor migas, pertambangan, atau infrastruktur, tetapi bahkan dalam kebutuhan dasar seperti gula—sesuatu yang seharusnya mudah diakses oleh setiap rakyat.

Namun, mengapa harga gula tetap tinggi? Mengapa petani tebu terus merugi? Mengapa pabrik gula lokal dibiarkan mati sementara impor gula justru membanjiri pasar? Jawabannya terletak pada satu hal: politik berbiaya tinggi dan investasi politik yang menggerogoti sistem dari dalam.

Politik Berbiaya Tinggi: Akar dari Segala Kebusukan

Setiap pemilu di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah, menelan biaya yang luar biasa. Seorang kandidat kepala daerah bisa menghabiskan ratusan miliar rupiah, sementara calon legislatif berlomba-lomba menggelontorkan dana untuk kampanye, logistik, pencitraan, hingga “serangan fajar”.

Namun, uang ini bukan berasal dari kantong pribadi semata. Ada tangan-tangan tak terlihat yang berinvestasi di belakang mereka—para pengusaha yang berharap balas jasa dalam bentuk izin bisnis, monopoli impor, atau proyek-proyek besar yang bisa mereka kendalikan.

Di sinilah korupsi gula menjadi bagian dari permainan besar ini.

Gula: Manis untuk Elite, Pahit untuk Rakyat

Sebagai salah satu komoditas strategis, gula dikendalikan oleh segelintir orang melalui sistem kuota impor yang sarat kepentingan politik.

  • Kuota impor hanya diberikan kepada mereka yang mendanai kampanye politik
  • Pabrik gula dalam negeri dibiarkan sekarat agar bisnis impor tetap menguntungkan
  • Petani tebu ditekan dengan harga beli rendah, sementara gula impor dijual mahal di pasar
  • Mafia gula menyimpan stok untuk menciptakan kelangkaan buatan, sehingga harga bisa dimainkan seenaknya

Ketika harga gula melonjak, rakyat hanya bisa pasrah. Sementara itu, para politikus yang didukung oleh mafia gula memilih diam. Bagaimana mungkin mereka menindak orang-orang yang telah membiayai karier politik mereka?

Korupsi yang Menghancurkan Semua Lini

Dampak dari investasi politik dan korupsi di sektor pangan ini menjalar ke semua aspek kehidupan rakyat.

  • Petani tebu kehilangan harapan, harga jual ditekan, pabrik lokal gulung tikar, banyak yang beralih ke komoditas lain
  • Industri kecil tercekik, biaya produksi meningkat, harga jual naik, daya beli masyarakat turun
  • Pedagang pasar semakin sulit, stok gula dikendalikan mafia, harga tidak stabil, keuntungan menipis
  • Rakyat membayar lebih mahal, bukan hanya gula, tetapi semua kebutuhan pokok ikut naik karena efek domino inflasi

Politik, Korupsi, dan Mentalitas yang Rusak

Yang lebih mengerikan, ketika korupsi sudah begitu sistematis, masyarakat perlahan dipaksa menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

  • Politik itu mahal, wajar kalau pejabat mencari cara untuk balik modal
  • Kalau tidak korupsi, mana bisa menang pemilu
  • Kalau mau sukses, harus main uang

Mentalitas ini menjalar ke bawah. Dari pejabat tinggi yang menjual izin impor, hingga pegawai kecil yang meminta uang pelicin untuk layanan publik. Rakyat kecil yang seharusnya menjadi korban, justru mulai mengikuti pola yang sama, karena mereka melihat bahwa inilah cara kerja sistem di negeri ini.

Gula, Korupsi, dan Politik yang Kotor

Korupsi gula bukan hanya tentang permainan harga, tetapi cerminan dari bagaimana investasi politik telah menghancurkan keadilan ekonomi di Indonesia.

  • Selama politik tetap berbiaya tinggi, mafia gula dan komoditas lain akan terus bermain
  • Selama ada investasi politik, izin impor akan selalu diberikan kepada yang punya akses, bukan yang punya kompetensi
  • Selama korupsi dianggap wajar, rakyat yang akan terus menjadi korban, membayar harga dari kebusukan sistem ini

Setiap butir gula yang kita konsumsi bukan hanya terasa manis di lidah, tetapi juga pahit—karena di baliknya ada praktik kotor yang merugikan bangsa ini.

Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi? Ataukah sudah waktunya untuk menghancurkan sistem yang telah menjadikan rakyat hanya sebagai sapi perah bagi elite rakus di atas sana?

Skandal Korupsi PTPN XI: Modernisasi Pabrik Gula yang Berujung Mangkrak

Proyek ambisius modernisasi Pabrik Gula Djatiroto di Jawa Timur berujung skandal besar. Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri mengungkap dugaan korupsi senilai Rp782 miliar yang melibatkan dua mantan petinggi PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI).

Dua tersangka yang ditetapkan adalah Dolly Pulungan, mantan Direktur Utama PTPN XI, dan Aris Toharisman, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PTPN XI. Keduanya diduga berperan dalam proyek pengembangan Pabrik Gula Djatiroto yang berjalan serampangan hingga merugikan keuangan negara.

Duit Mengalir, Pabrik Mangkrak

Proyek modernisasi ini dimulai pada 2016 dengan skema Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC). Dana segar Rp400 miliar dari Penyertaan Modal Negara (PMN) dikucurkan, dengan tambahan kredit ratusan miliar dari Bank BRI dan PT Sarana Multi Infrastruktur.

Namun, seperti proyek besar lain yang sarat kepentingan, pelaksanaannya jauh dari rencana. PTPN XI menunjuk konsorsium KSO HEU—gabungan PT Hutama Karya, PT Eurroasiatic, dan Uttam Sucrotech PVT.LTD—untuk menangani proyek ini. Alih-alih selesai tepat waktu, proyek ini justru mandek di tengah jalan, meski hampir 90 persen dana proyek sudah dicairkan.

“Sederhananya, uangnya sudah keluar, tapi pabriknya tak kunjung selesai,” ujar seorang penyidik Kortas Tipikor yang menangani kasus ini.

Investigasi menemukan adanya penggelembungan anggaran, penyimpangan kontrak, dan indikasi suap dalam pengelolaan proyek. Sejumlah peralatan yang diimpor ternyata tidak sesuai spesifikasi, dan beberapa pembayaran diduga dilakukan sebelum pekerjaan benar-benar rampung.

Benang Merah Korupsi di Sektor Gula

Skandal ini bukan kasus pertama yang menjerat PTPN XI. Sebelumnya, sejumlah proyek di bawah BUMN perkebunan ini juga bermasalah. Dolly Pulungan, yang kini jadi tersangka, bukan orang baru dalam kasus korupsi. Pada 2019, ia pernah terseret kasus suap impor gula yang melibatkan perusahaan swasta.

Praktik korupsi di sektor gula selama ini juga bukan barang baru. Dari kuota impor yang dikuasai mafia hingga pabrik gula yang dibiarkan sekarat, skema ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Alih-alih memperkuat produksi dalam negeri, kebijakan pemerintah justru menguntungkan segelintir pemain besar yang bermain di dua kaki—menguasai jalur impor sekaligus mengendalikan produksi lokal.

Tak heran, harga gula di pasar tetap tinggi meski impor membanjir. Petani tebu lokal semakin terjepit, sementara mafia gula terus mengeruk keuntungan.

Tindak Lanjut: Berhenti di Pejabat BUMN atau Merambah ke Atas?

Kortas Tipikor mengindikasikan akan mendalami keterlibatan pihak lain. “Kami masih menelusuri ke mana aliran dana ini bermuara,” kata salah satu penyidik. Namun, sebagaimana kasus korupsi di BUMN lainnya, pertanyaan besarnya tetap sama: Apakah kasus ini akan berhenti di pejabat menengah, atau akan menjerat aktor yang lebih besar di balik permainan ini?

Untuk saat ini, publik masih harus menunggu apakah hukum benar-benar akan ditegakkan atau hanya menjadi panggung sandiwara seperti yang sudah-sudah. Satu yang pasti, korupsi di sektor gula terus menjadi penyakit laten yang membebani rakyat, sementara segelintir elite terus menikmati manisnya permainan kotor ini.

Oleh : Renaldi Davinci

Bagikan